Jakarta, 8 Desember 2016

Indonesia merupakan salah satu
negara berkembang namun tidak semua orang mampu mengakses obat dengan harga
yang mahal. Sebagai contoh kasus, estimasi ODHA sebanyak 600.000 orang
sementara hanya 50.000 orang yang dapat mengakses ARV dan 3 juta orang hidup
dengan hepatitis C di Indonesia, 15.000 orang meninggal akibat sirosis setiap
tahunnya.
Perundingan RCEP yang melibatkan
600 delegasi negara di ICE-BSD, Tangerang masih tetap berjalan. Koalisi Keadilan
Ekonomi Untuk Masyarakat Sipil kemarin pada 7 Desember 2016 berkesempatan untuk
menyampaikan kekhawatiran kepada 16 negosiator dari masing-masing negara RCEP
di pertemuan Stakeholder Meeting with CSO
in RCEP 16th Round Trade Negotiation Comitte.
Potensi masuknya ketentuan
kekayaan intelektual dalam RCEP sangat berbahaya bagi eksistensi jangka paten,
ekslusivitas data bisa membahayakan jutaan orang di seluruh dunia yang
mengandalkan ARV generik dengan harga yang lebih terjangkau. “sebagai orang yang hidup dengan HIV, dapat
terkena juga ko-infeksi TB dan Hep C, kami membutuhkan agar program publik
dapat ditingkatkan untuk pengobatan yang lebih baik, tandas Putri Sindi
yang hadir dalam pertemuan tersebut mewakili kelompok pasien dihadapan 16
negara negosiasi RCEP. Kekhawatiran itu timbul akibat ketentuan RCEP yang
membatasi persaingan generik sehingga membuat pemerintah Indonesia menjadi
tidak memungkinkan untuk memberikan perlindungan dan pengobatan HIV serta
infeksi lainnya.
Ada resiko berbahaya
jika Indonesia mengadopsi ketentuan yang diberlakukan dalam perundingan
tersebut dalam pengobatan HIV/AIDS yang telah dicapai selama ini bahwa
pemerintah berhasil memperluas pengobatan HIV menggunakan lisensi wajib. Pasalnya,
saat ini pemerintah Indonesia hanya mampu menyediakan ARV lini 1 bagi pasien
ODHA sedangkan ARV lini 2 masih bergantung pada bantuan Global fund yang dalam
waktu dekat akan menghentikan hibahnya ke Indonesia.
Koalisi Ekonomi Keadilan Untuk Masyarakat
Sipil juga menyampaikan kekhawatirannya melalui conference pers yang diadakan di Bakoel Coffee – Cikini siang hari
setelah pertemuan dengan 16 negosiator RCEP. “RCEP hanya sebagai media investor untuk mendapatkan keuntungan yang
lebih besar, harusnya pertemuan RCEP ini berhenti dan tidak dilanjutkan”
ujar Wahyu Direktur Eksekutif Creata kembali menyerukan penolakannya di depan
awak media. Namun sangat disayangkan gertakkan korporasi lebih menakutkan buat
negara dibanding protes masyarakat korban dan CSO sehingga perundingan ini masih
tetap berjalan. Padahal RCEP bukan sekedar perjanjian perdagangan bebas semata
melainkan perjanjian yang berdampak pada semua aspek kehidupan. Putri Sindi
sebagai perwakilan kelompok pasien menegaskan agar klausul yang bisa menghambat
obat murah dihilangkan karena obat merupakan kebutuhan orang banyak.
Artikel oleh Sally Nita
No comments